Padang, SUMATERALINE -- Upaya yang dilakukan masyarakat Pasukuan Mandailing, Nagari Batu Ampa dalam merekat tali persaudaraan dengan Keluarga Bung Hatta sangat bagus. Tidak hanya sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga besar Bung Hatta, prosesi 'Malakok' yang diselenggarakan pada bulan Agustus nanti tentu akan memberikan edukasi bagi generasi penerus bangsa tentang sosok salah satu Proklamator Bangsa Indonesia. "Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sangat mendukung prosesi yang akan diselenggarakan di Nagari Batu Ampa, Kecamatan Akabiluru melalui dukungan anggaran yang telah dialokasikan oleh Dinas Kebudayaan," ungkap Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, Kamis, (09/03/23) saat menerima audiensi Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt.Bandaro Rajo bersama Wali Nagari Batu Ampa Asra Arafat dan sejumlah tokoh masyarakat Nagari Batu Ampa di Gubernuran Sumatera Barat.
Mohammad Hatta atau sering disebut Bung Hatta tercatat dengan tinta emas di lembar sejarah negara Indonesia. Ia adalah salah satu Bapak Pendiri Bangsa. Bersama Soekarno, ia diberi gelar Proklamator. Lantas jika ditanya, adakah hubungan Bung Hatta dengan Kabupaten Limapuluh Kota. Ironisnya, sebagian warga Limapuluh Kota pun tak mampu untuk menjelaskan hal ini. Padahal, figur Bung Hatta yang sangat religius jejaknya berawal dari Batu Hampar, Limapuluh Kota. Ayah Bung Hatta, Syech Muhammad Djamil merupakan anak dari Syech Abdurrahman salah satu ulama besar Minangkabau. Syech Abdurrahman adalah penggagas sentra pendidikan Islam ala Surau di Batuhampar.
Berdasar sejarah hubungan Bung Hatta dengan Nagari Batu Ampa tersebutlah, masyarakat, Niniak Mamak, pihak Nagari Batu Ampa secara kolektif berkeinginan untuk melakukan prosesi 'Malakok' Bagi anak-anak Bung Hatta yang notabene ibunya bukan dari Suku Minang. Dikutip dari tulisan Syaiful Gucci yang diterbitkan Bakaba.co, adat Minangkabau yang menganut sistem matrilinial, anak-anak yang lahir dari perkawinan antara lelaki Minangkabau dengan wanita non-Minangkabau tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem kekerabatan Minangkabau. Anak-anak ini dalam kacamata adat Minangkabau berstatus “anak tidak bersuku”. Bahkan di lingkungan suku ibunya mereka juga tidak diterima dalam sistem patrilinial, sehingga jadilah status mereka ‘takatuang di awang-awang’, terkatung-katung di langit. Namun adat budaya Minangkabau tidaklah sekaku itu, juga bukan merupakan budaya yang tertutup atau menutup diri. Anak yang dikatakan tidak bersuku tersebut dapat dicarikan sukunya dengan menjalani persyaratan adat yang disebut dengan malakok. Secara etimologi, malakok adalah menempel atau melekat. Menempel atau melekat pada salah satu suku/kaum yang ada pada suatu nagari di ranah Minang. Istilah malakok ini pada setiap wilayah di ranah Minang memiliki langgam yang berbeda istilah.
Di bagian lain penyampaiannnya,Gubernur Mahyeldi menghimbau seluruh elemen, baik provinsi, Kabupaten, dan Nagari agar mensukseskan secara bersama prosesi 'malakok'. "Semoga persiapannya sukses, dan dapat disemarakkan oleh seluruh pihak karena gaungnya akan jadi momentum sejarah bagi masyarakat Batu Ampa maupun Limapuluh Kota secara umum," ungkap Mahyeldi.
Sementara itu, Bupati Safaruddin dalam penyampaiannya menyatakan kesiapan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dalam mensukseskan prosesi 'Malakok' keluarga Bung Hatta. "Dukungan untuk mensukseskan salah satu momen bersejarah di Limapuluh Kota dapat ditunjukkan dengan kehadiran sejumlah OPD dalam audiensi kali ini, diantaranya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kominfo, Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Nagari," ucap Bupati Safaruddin. Kemudian Ia berharap, setiap unsur yang terlibat baik itu Nagari, Kabupaten, dan Provinsi dapat menjalin komunikasi intens, bersinergi, dan berkolaborasi hingga pelaksanaan prosesi Malakok dapat diselenggarakan pada 12 Agustus nanti.
Turut hadir dalam audiensi, Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Syaifullah, Asisten 1 Limapuluh Kota Herman Azmar, Kadis Kominfo Liko Desri, Kepala DPMDN Endra Amzar, Kepala PUPR Rilza Hanif. (MFS/Diskominfo)
0 komentar:
Posting Komentar